Beranda | Artikel
Faedah-Faedah dari Hadis tentang Pelacur yang Memberi Minum Anjing
4 hari lalu

Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ

“Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245)

Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244)

Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya.

Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok:

Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang;

Kedua: Luasnya kasih sayang Allah;

Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan.

Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang

Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung.

Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya.

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء

“Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924)

Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut.

Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah

Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54)

Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan.

Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,

 يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله

“Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya.

Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2]

Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal

Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah.

Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ.

Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman

Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun.

Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya.

Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya.

***

Penulis: Glenshah Fauzi


Artikel asli: https://muslim.or.id/101254-faedah-faedah-dari-hadis-tentang-pelacur-yang-memberi-minum-anjing.html